KPK Sebut Lampung Masuk Daerah Rentan Korupsi
BANDARLAMPUNG, RATUMEDIA.ID- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI mengklasifikasikan Provinsi Lampung masuk kategori daerah rentan tindak pidana korupsi. Pendataan itu merujuk hasil nilai Survei Penilaian Integritas (SPI) tahu 2022.
Tim Monitoring KPK RI, Wahyu Dewantara Susilo, mengatakan, hasil SPI, KPK menyebutkan terdapat enam daerah di Provinsi Lampung masuk kategori sangat rentan korupsi, salah satunya Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Bandar Lampung.
Wahyu Dewantara Susilo menjelaskan, SPI merupakan survei memetakan risiko korupsi dan kemajuan upaya mencegah korupsi di kementerian/lembaga/pemda.
“Tahun 2021 hasil survei SPI, bahwa Lampung masuk kategori rentan terjadi tindak pidana korupsi dengan nilai indeks kerawanan 69,3 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 72 persen,” kata ia saat temu media dalam rangkaian Roadshow Bus KPK RI di aula Pondok Rimbawan, Kamis (22/9/2022).
Wahyu mengungkapkan, dari 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung, enam daerah masuk kategori sangat rentan korupsi, yakni Bandar Lampung dengan nilai indeks 65.58 persen, Lampung Utara 62.69, Pesawaran 67.04, Tanggamus 65.16, Lampung Selatan 58.68, dan Lampung Timur 51,99 persen.
“Hasil survei bisa kita lihat langsung di www.jaga.id,” ucapnya.
Ia menjelaskan, tujuan KPK bukan nilainya, melainkan menyiptakan perubahan yang mau diperbuat pemerintah daerah dari masukan yang KPK berikan.
“Kita coba potret suap dan gratifikasi, misalnya mencapai 26 persen. Dengan menanyakan kepada pegawai pernah menyaksikan peristiwa suap atau gratifikasi, hasilnya 26 persen menjawab pernah. Artinya, dari 10 orang ditanya, ada 2 orang mengalami peristiwa itu,” ungkapnya.
Selain itu, berdasarkan situs jaga.id milik KPK, ada dua persentase komponen digunakan, yakni internal (responden pegawai) dan eksternal (responden pengguna layanan).
Komponen internal, di antaranya risiko suap atau gratifikasi 26 persen, risiko treding in fluence (intervensi pihak lain dalam berbagai pengambilan keputusan di instansi) 28 persen, dan risiko pengelolan pengadaan barang dan jasa 30 persen.
Kemudian, risiko penyalahgunaan fasilitas kantor 51 persen, risiko nepotisme dalam pengelolaan SDM 34 persen, risiko jual beli jabatan 21 persen, dan risiko penyalahgunaan perjalanan dinas 28 persen.
Sementara untuk komponen eksternal, risiko suap atau gratifikasi 9,79 persen, risiko pungutan liar 10,1 persen, keberadaan pungutan liar 15,1 persen, kualitas transparansi layanan 16,16 persen, dan kualitas pengelolaan PBJ 17,81 persen. (rn)