Sabah Balau dan Sukarame Baru Belum jadi Digusur,Ini Keterangan BPKAD dan PTPN VII!
BandarLampung, RATUMEDIA.ID – Soal aset lahan yang sudah ditempati warga seluas 6,3 Hektar di Sukarame Baru dan Desa Sabah Balau pihak BPKAD Lampung ungkap surat panggilan sampai tiga kali sudah dilayangkan ke warga untuk meninggalkan lokasi.
Namun karena saat ini masih dalam proses hukum (gugatan), Pemprov Lampung untuk sementara menghentikan penggusuran Sabah Balau dan Sukarame Baru.
Hal itu diungkapkan Kepala Bidang aset BPKAD Provinsi Lampung Meydiandra saat hearing bersama Komisi I DPRD Lampung, PTPN VII dan BPN yang tidak hadir, di ruang rapat Komisi, Rabu (10/11/2021).
Meydiandra mengungkapkan bahwa aset lahan yang berada di Sabah Balau dan Sukarame Baru setelah dilakukan identitas, aset itu adalah milik Pemprov Lampung.“Dulu tanah itu adalah punya PTPN, dan 6,3 hektar didalam sertifikat itu dikuasai masyarakat. Pada tahun 2017 sudah dilepaskan dari PTPN ke Negara (Pemda Lampung,red) yang tadinya 350 hektar yakni untuk Kota Baru dan ITERA, dan sisanya 57 hektar. Kami sudah identifikasi dengan BPN Lamsel di Sabah Balau karena sertifikat itu terbit di Lamsel, itu kurang lebih 2 hektar. Makanya itu untuk penertiban di Sabah Balau dan Sukarame Baru,” ungkap Meydiandra dalam hearing.“Dulu tanah itu adalah punya PTPN, dan 6,3 hektar didalam sertifikat itu dikuasai masyarakat. Pada tahun 2017 sudah dilepaskan dari PTPN ke Negara (Pemda Lampung,red) yang tadinya 350 hektar yakni untuk Kota Baru dan ITERA, dan sisanya 57 hektar. Kami sudah identifikasi dengan BPN Lamsel di Sabah Balau karena sertifikat itu terbit di Lamsel, itu kurang lebih 2 hektar. Makanya itu untuk penertiban di Sabah Balau dan Sukarame Baru,” ungkap Meydiandra dalam hearing.“Dulu tanah itu adalah punya PTPN, dan 6,3 hektar didalam sertifikat itu dikuasai masyarakat. Pada tahun 2017 sudah dilepaskan dari PTPN ke Negara (Pemda Lampung,red) yang tadinya 350 hektar yakni untuk Kota Baru dan ITERA, dan sisanya 57 hektar. Kami sudah identifikasi dengan BPN Lamsel di Sabah Balau karena sertifikat itu terbit di Lamsel, itu kurang lebih 2 hektar. Makanya itu untuk penertiban di Sabah Balau dan Sukarame Baru,” ungkap Meydiandra dalam hearing.
Menurut Meydiandra untuk Pemprov Lampung total luas sertifikat 16,8 hektar dari 218,7 hektar.
“5 hektar itu SMK, kemudian yang dikuasai masyarakat itu ada 6,3 hektar dan lokasinya itu terbelah dua jadi masuk Lampung Selatan dan Bandarlampung, itu yang aset provinsi Lampung,” terang Meydiandra.
Sekretaris PTPN VII Bambang Hartawan menjelaskan bahwa pada tahun 1996 PTPN VII itu merupakan peleburan dari PTP X dan PTP XXXI dengan aset milik PTP XI dan milik PTP XXIII.
“Pada tahun tahun sebelum PTPN VII terbentuk, memang itu ada penyerahan aset kepada negara melalui BPN Lampung Selatan,” ungkap Bambang Hartawan.
Ditambahkan, Satria Kepala seksi bidang hukum PTPN VII, bahwa ada aktiva yang beralih saham-saham dan kemudian pelepasan aset PTPN VII pada tahun 2010 ke Pemprov Lampung untuk Kota Baru Lampung seluas 350 hektar (sekarang ITERA, red).
Kemudian lanjut Satria, pada tahun 2015 seluas 80,5 hektar untuk jalan Tol. Itu pelepasannya oleh pemegang saham.
“Bedanya tahun 2015 Kanwil BPN Lampung itu panitianya untuk pelepasan aset. Itu izin menteri BUMN,” terang Satria.
Menurutnya, Pada tahun 1985 seluas 126,8 hektar pelepasan aset untuk kepentingan pembangunan industri lampung ke PT KAIL (milik Pemprov Lampung).
“Ini izin dari menteri keuangan bentuknya ganti rugi,” ungkapnya.
“Itu langsung ke pemprov. Jika yang Sabah Balau ini tahun 1991 ini lepaskan ke Kepala Pertanahan Lamsel sebagai wakil dari pemerintahan itu seluas 218 hektar. Dan ini ada 30 April 1991 tentang tata cara pelepasan tanah oleh BPN Lamsel,” jelasnya.
Dijelaskan Satria, bahwa pada saat Edward Sitorus menjabat Direktur PTP (sebelum jadi PTPN VII) berdasarkan resume dari para pejabat yang menjabat di tahun 1990-1992 itu, pelepasan aset disaksikan Sudijo Kepala BPN Lamsel pada 1 April 1986 melepas 218,73 hektar kepada Negara dan tanahnya stusnya dikuasai oleh negara.
“Sehingga di tahun 1985 PTPN XXXI, XXIII dan X tidak ada lagi haknya untuk PTPN VII,” jelasnya.
Kemudian, kata Satria, pada tahun 2005 itu tidak termasuk Sabah Balau yang 218,73 hektar. Itu dilepaskan atas persetujuan Menteri Keuangan.
“Justru itu hanya berita acara. Kami baru tahu jika Pemprov mau menertibkan yang 20,44 hektar. Karena kami hanya temukan 2 surat, ini 16 Januari 1990 bertindak atas nama perseroan PTP, kemudian surat kedua surat permohonan ke Kanwil BPN Lampung itu meminta agar dikurangi aset yang sudah dikurangi. Dan itu tidak termasuk dengan Sabah Balau. Jadi gak ada korelasinya dengan yang pemrov itu aset Sabah Balau milik Pemprov,” tegasnya.
Menurut Satria, mulai tahun 2014, segala sesuatu yang berkaitan dengan kerjasama itu harus ada arsipnya. Untuk yang berkaitan dengan ini tidak ada, karena sudah dilepaskan dari PTPN.
“Kami telusuri di arsip kami baik di kantor pusat atau di kantor Kedaton, kami tidak menemukan,” ungkap Satria.
Diakhir hearing, Satria mengungkapkan, bahwa pelepasan aset PTPN itu ke Direktorat Agraria Pemda Provinsi Lampung yang diwakili oleh BPN Lamsel Sudijo.
Dia mengulas untuk pelepasan aset yang jadi Kota Baru itu perlu waktu 1,5 tahun untuk persetujuan pemegang saham.
Menurut Mirzalie fraksi Gerindra yang hadir dalam hearing, meminta agar kembali mengkroscek terkait dengan hak garap untuk koperasi karyawan PTPN VII yang diterbitkan di tahun yang sama.
Sedangkan, Watoni Noerdin fraksi PDIP Lampung, dia menyebutkan bahwa dari PTPN VII itu sudah benar mekanisme mulai dari pelepasan asetnya kepada negara.“Itu sudah benar prosesnya. Tadinya kami bertanya kenapa PTPN ini melepaskan. Tapi karena ini setelah mendengar dari PTPN baru kami tahu. Dan itu prosesnya sudah benar, dan permasalahan PTPN selesai, karena itu sudah diserahkan ke negara. Dan kami tanyakan Pemprov Lampung ini mintanya yang mana?, kalau itu suratnya sudah jelas yang diminta yang dimana,” tanya Watoni Noerdin dalam hearing. (rls/ncu)